Categories
Bahasa Batak

Daftar Rayuan Gombal Paling Populer Dalam Bahasa Karo

Bahasa karo bisa dikatakan sebagai bahasa yang digunakan oleh Suku Karo yang mendiami Dataran Tinggi Karo (Kabupaten Karo), Deli Serdang, Langkat, Medan, Dairi, hingga ke Aceh Tenggara.

Bahasa Karo ini secara historis ditulis dengan menggunakan aksara Karo atau yang lebih sering disebut dengan Surat Aru/Haru, yang sebenarnya merupakan turunan dari aksara Brahmi yang berasal dari India kuno.
Tapi sayangnya kini hanya sebagian kecil orang Karo yang bisa menulis atau memahami aksara Karo tersebut, sebaliknya banyak yang lebih memilih menggunakan aksara latin. Memang seiring perkembangan zaman hal seperti ini tidak bisa dihindari lagi.

Bahasa Karo sendiri masih sangat jarang dipahami oleh orang-orang, dan bahkan oleh orang Karo sendiri. Zaman yang sudah mulai berubah, serta kurang berminatnya anak-anak muda dari suku Karo, disinyalir menjadi faktot terbesar kenapa bahasa Karo kini kurang begitu digunanakan untuk komunikasi sehari-hari.

Mengenal Aksara Karo

Surat Aru (Haru) atau yang disebut juga dengan Tulisen (aksara) Karo ini bisa dikatakan sebagai salah satu aksara yang ada di Nusantara. Dikatakan Tulisen Karo lantaran tumbuh dan berkembang serta digunakan secara meluas di wilayah-wilayah suku Karo dan dipergunakan oleh masyarakat Karo untuk menulis cakap (bahasa) Karo.
Pada dasarnya, media dalam penulisan aksara Karo ini tidak jauh berbeda dengan aksara-aksara kuno lainnya, yang mana semua bisa dijadikan sebagai media tulis, baik bambu, kayu, batu, logam, daun, kertas, dan lain-lain. Tapi di Karo sendiri, media yang paling populer digunakan oleh masyarakat untuk menulis adalah bilah bambu atau kulit kayu.

Fakta semacam ini ditunjukkan dengan adanya kebiasaan dari masyarakat suku Karo zaman dahulu khususnya kaum mudanya yang sering menulis ratapan atau rintihan hidupnya khusunya yang berkaitan dengan urusan asmara pada kulit bambu maupun kayu, atau yang lebih populer dengan sebutan buluh bilang-bilang.
Tidaka hanya itu saja, di wilayah yang banyak ditinggali oleh masyarakat suku Karo juga cukup populer dengan surat kaleng. Dalam bahasa Karo sendiri dikenal dengan istilah musuh berngi (musuh dalam kegelapan/musuh malam) yang isi suratnya umumnya berisi nada tantangan ataupun ancaman.

Secara karakter dan pelafalan, aksara Karo ini sebenarnya ada kemiripan atau kesamaan dengan beberapa aksara non-latin lainnya yang ada di Nusantara, terlebih lagi di Sumatera. Misalnysa saja aksara dari daerah Simalungun, Pakpak, Kerinci, Lampung, Batak (Toba), dan lain-lain.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, maka setelah itu lebih dikenal dengan aksara Karo, oleh karena fungsi serta penggunaannya sendiri, yakni yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat suku Karo. Disamping ada beberapa kekhasan lainnya.

Indung surat (huruf utama/huruf induk) bahasa Karo terdiri dari 21 surat (font/huruf), yang merupakana pelambangan konsonan. Meskipun dalam hal pelafalan serta pengejaannya bahasa Karo ini selalu diakhiri oleh bunyi “a” yang nota bene merupakan bunyi huruf vokal.

Selanjutnya, vokal serta karakter penjelasan lainnya (diakritik) dirangkum dalam kelompok anak surat (anak huruf) yang secara penempatannya rata-rata ada setelah indung surat.

Kemudian, anak surat dalam aksara Karo sendiri dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) menghilangkan bunyi “a”, 2) Mengubah bunyi “a” menjadi “i, u, e’, é, dan o”, serta 3) menambah bunyi “h” dan “ng”.
Pada dasarnya, aksara Karo ini merupakan kelompok abuguida murini. Hal tersebut tampak jelas dalam pelafalan dan penulisan vokal-vokalnya yang bisa dibilang sangat mutlak, baik untuk vokal “a, i, u, e’, é, dan o”.
Kemudian, jika diperhatikan lebih mendalam lagi, tulisen (aksara) Karo ini juga memiliki ciri khas tersendiri yang begitu tampak pada dua indung suratnya, “nda” dan “mba”, yang mana kedua indung surat tersebut hanya bisa ditemui pada tulisen (aksara) Karo saja, dan merupakan khas logat Karo.

Dialek Bahasa Karo

Setelah mengulas mengenai aksara Karo, kini tibalah saatnya mengenal terkait dengan dialek bahasa Karo itu sendiri. Dialek dalam bahasa Karo pada umumnya dikenal ke dalam 3 buah pembagian, diantaranya adalah:

  1. Cakap Karo Gunung-gunung (Dialek Gunung-gunung). Dialek ini kebanyakan digunakan di derah Kecamatan Juhar. Munte, Kutabuluh, Tiga Binaga, dan Mardinding.
  2. Cakap Orang Julu (Dialek Kabanjahe). Dialek ini kebanyakan digunakan di derah Kecamatan Kabanjahe, Barus Jahe, Tiga Panah, Payung, dan Simpang Empat.
  3. Cakap Kalak Karo Jahe (Dialek Jahe-jahe). Dialek ini kebanyakan digunakan di derah Kecamatan Biru-biru, Pancur Batu, Lau Bekerei, Sibolangit, Namo Rambe (termasuk kabupaten Deli Serdang), serta di beberapa daerah yang ada di Kabupaten Langkat (Hulu) seperti halnya di Selapan, Bahorok, Kuala, dan lain-lain.

Rayuan Gombal Dalam Bahasa Karo

Dalam bahasa daerah manapun, pasti ada yang namanya bahasa khusus untuk memikat lawan jenis, begitupun juga yang ada pada bahasa Karo. Penasaran seperti apa orang suku Karo jika meraya lawan jenisnya?

  1. Ngene ateiku kam, dalam bahasa Indonesia kalimat ini berarti kau yang kucinta.
  2. Kam ngenca si kuarapken, dalam bahasa Indonesia kalimat ini berarti hanya kau yang selalu kuharapkan.
  3. Keleng ateiku kam , dalam bahasa Indonesia kalimat ini berarti aku sayang kepadamu.
  4. Buktiken adi ngenna dengan atendu, dalam bahasa Indonesia kalimat ini berarti buktikan bahwa kau masih cinta.
  5. Tuhan nge lalap si njaga kita, dalam bahasa Indonesia kalimat ini berarti Tuhan yang akan menjaga kita. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Seperti itulah sedikit ulasan mengenai bahasa Karo. Semodern apapun pemikiran dan gaya hidup Anda, akan lebih baik lagi jika tidak pernah melupakan warisan nenek moyang, contoh sederhananya seperti bahasa Karo ini.

Categories
Bahasa Batak

Sekilas Mengenal Bahasa Karo Kebanggaan Nusantara Yang Mulai Ditelan Jaman Pesona Danau Toba

Bahasa karo, bahasa yang khas dan menjadi salah satu bahasa khas di nusantara. Bahasa ini dituturkan oleh masyarakat yang berada di dataran tinggi karo, Deli Serdang dan beberapa kabupaten di Medan Sumatera Utara. Terkhususnya dituturkan oleh suku karo itu sendiri. Tercatat di tahun 1991, jumlah penuturnya di kisaran 600.000 jiwa. Penuturnya berasal dari daerah yang memang merupakan keturunan suku karo. Namun sejauh ini, jumlah penuturnya tidak mendapatkan kejelasan.

Kemungkinannya akan semakin besar. Kenapa? Karena jumlah penduduk tiap tahunnya bertambah. Tidak terkecuali suku karo yang ada di wilayah dataran tinggi Karo.

Bahasa Dan Aksara Karo

Bicara mengenai bahasa, tentu saja bahasa ini tetap digunakan. Hanya saja, penggunaannya hanya sebatas dimanfaatkan di daerahnya. Karena bahasa utama yang bisa menyatukan orang di seluruh penjuru nusantara adalah bahasa Indonesia.

Bahasa ini tidak bisa dikatakan tenggelam dan punah. Kenyataannya, orang-orang yang mendiami wilayah dataran tinggi karo senantiasa menggunakan bahasa tersebut. Yakni untuk berkomunikasi, bermusyawaroh, bercanda dan lain sebagainya.

Temukan Cerita Dongeng Bahasa Inggris Danau Toba

Sementara untuk penulisannya, inilah yang menjadi masalah. Bahasa ini ditulis dengan aksara karo. Orang mengenalnya pula dengan aksaraharu.

Akasara/surat haru/aru sendiri merupakan aksara turunan brahmi dan india. Bagi masyarakat setempat, penulisan dengan aksara ini agaknya sudah ditinggalkan. Hanya sebagian kecil saja yang masih bisa menuliskan dengan aksara karo.

Tentu saja, orang yang mampu menuliskan aksara ini adalah orang-orang terdahulu. Dan para pemuda kemungkinannya tidak bisa menuliskan dengan aksara tersebut. Kecuali mereka yang benar-benar memiliki ketertarikan dan kepedulian akan nilai historis dari bahasa kebanggaan daerahnya.
Nah, masalah seperti ini sebenarnya tidak dialami oleh daerah karo saja. Beberapa daerah di nusantara yang memiliki aksara sendiri juga sama. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang mampu menulis, serta membacanya.

Apa Yang Menyebabkan Masyarakat Tidak Mampu Menulis Dengan Aksara Haru?

Dahulu suku karo memang suka menuliskan sesuatu dengan aksara tersebut. Bukan hanya orang-orang tua saja, tetapi kaum muda. Khususnya dituliskan pada kulit, sampai bamboo dan lain sebagainya.
Apa yang dituliskan mewakili perasaannya. Entah itu perasaan sedang berduka, suka cita dan lain sebagainya. Kesemuanya akan ditulis dalam aksara tersebut.

Namun saat ini, pengenalan aksara latin dari jaman dahulu sampai sekarang membuat masyarakat di daerah terlena. Aksara latin inilah yang dipelajari, bahkan diajarkan di setiap jenjang pendidikan.
Kalaupun ada pendidikan yang memperkenalkan aksara sebuah daerah, itu hanya sebagai pelengkap dari muatan lokal sebuah pengajaran. Dan fokus dari pelajar tentu saja tidak penuh. Akibatnya, pengajaran akan bahasa sekaligus aksara daerah tidak akan pernah dikuasainya.

Selain ada pengaruh aksara latin, kurangnya minat masyarakat setempat untuk mempelajari aksara daerahnya menjadi biang kegagalan dalam menguasainya. Bahkan ketika Anda menyodorkan satu kalimat bertuliskan aksara haru, kemungkinan besar masyarakat setempat tidak mampu membacanya.
Apakah ini hanya terjadi pada daerah karo saja? Tentu saja tidak. Di beberapa daerah yang punya bahasa dan aksara sendiri juga melakukannya. Nampaknya aksara latin menjadi sangat dominan dan penulisannya dianggap lebih mudah.

Dicontohkan dengan bahasa Indonesia yang dituliskan dengan aksara latin. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia akan tahu. Bahkan di pelosok negeri, masyarakat bisa membacanya.

Solusi Untuk Mengajarkan Masyarakat Setempat Aksara Karo

Untuk penggunaan bahasa karo, kami rasa bahasa ini tetap akan digunakan untuk percakapan setiap hari. Tentunya penutur aslinya yang bakalan menggunakannya. Kalaupun ada pendatang, merekalah pendatang yang kemungkinannya memutuskan untuk tinggal di kawasan tersebut. Sementara untuk penulisan dengan aksara tersebut, agaknya inilah yang akan menjadi masalah. Semakin sedikitnya masyarakat yang tahu bagaimana menulis dan membaca aksara haru bisa mengakibatkan hilangnya aksara tersebut.

Aksara ini hanya akan tinggal sejarah. Dan aksara ini hanya akan menjadi bahan penelitian dari seorang peneliti modern yang punya niatan baik untuk menjaganya. Parahnya, peneliti ini bukanlah dari orang yang bukan keturunan suku karo.

Lalu, bagaimana solusi untuk melestarikan aksara tersebut? Baik pemerintah dan masyarakat setempat sebaiknya mulai penduli akan identitas tersebut. Kepedulian ini bisa ditumbuhkan dengan menumbuhkan rasa cinta penutur akan bahasa aslinya.

Memang butuh waktu, tapi ini adalah langkah yang cukup bijak. Tujuannya supaya aksara haru ini tidak hilang ditelan oleh jaman. Dan anak cucu bisa memahami karya sastra yang dituliskan dengan aksara haru di kemudian hari.

Untuk mengimbanginya, sejumlah instansi pendidikan harusnya ikut terlibat untuk menjaga bahasa tersebut. Pengajaran di tiap jenjang pendidikan harusnya dilakukan. Ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu penuturnya.

Kemudian yang tak kalah penting, masyarakat setempat butuh sebuah wadah yang mana bisa menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda. Di tempat inilah para pemuda bisa belajar sedikit demi sedikit tentang cara menulis bahasa karo dengan aksara haru.

Terbiasanya para pemuda dalam menulis dengan aksara tersebut, lambat laun aksara ini akan semakin dikenal. Setidaknya, anak cucu bisa menulis dengan aksara tersebut. Dan ini menjadi cara terbaik untuk mencegah punahnya aksara ini di tengah-tengah kemodernan.

Yang perlu dilakukan adalah memulainya saat ini juga. Kenalkan anak-anak dengan aksara tersebut. Kemudian tumbuhkan rasa ingin tahu mereka agar anak merasa bahwa belajar bahasanya sendiri sangatlah baik.
Jika hal ini tidak dilakukan, anak-anak hanya akan fokus untuk belajar menulis dengan bahasa latin. Dalam jangka waktu tertentu, penutur asli yang mulai dewasa akan kehilangan aksaranya.

Intinya, jangan karena bahasa lain sering digunakan membuat bahasa sendiri terbaikan. Tetap jaga bahasa sendiri agar lebih lestari. Setidaknya, ini adalah bentuk menjaga kehormatan bangsa yang dipenuhi dengan banyaknya bahasa. Salah satunya adalah bahasa karo ini.

Exit mobile version