Bahasa bugis adalah salah satu bahasa yang digunakan oleh etnik Bugis di Sulawesi Selatan, dan masuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Berbicara mengenai bahasa daerah, tidak hanya dialami oleh bahasa Bugis saja, namum hampir semua bahas daerah yang ada di seluruh Indonesia mengalami nasib yang cukup tragis dikalangan kaum milenial.
Bahasa bugis sendiri terdiri dari beberapa dialek. Seperti halnya dialek Bone (yang berbeda antara Bone selatan dan Utara), dialek Wajo (juga berbeda antatara Wajo bagian Utara, Selatan, Timur, dan Barat), dialek Pinrang yang ada kemiripan dengan dialek Sidrap, dialek Soppeng, dialek Sinjai, dialek Barru, dan sebagainya.
Selain dialek yang berbeda, sebenarnya terdapat juga beberapa kosakata yang berbeda, misalnya saja dialek Sidrap dan Pinrang saat menyebut kata Loka untuk pisang. Sementara itu, dialek Bugis yang lain menyebut Otti atau Utti. Namun yang paling berbeda adalah Kabupaten Sinjai, setiap bahasa Bugis yang ada huruf “W” diganti dengan huruf “H”.
Tulisan Bugis Tradisional
Tulisan Bugis tradisional tidak memiliki tanda konsonan. Oleh sebab itu bisa dikatakan cukup sulit pada saat dibaca jika tidak melihat kalimat secara keseluruhan. Jika membaca satu kata saja, potensi salah baca cukup besar. Hal ini disebabkan kata tersebut bisa dibaca dengan berbagai bacaan.
Ini bisa dikatakan sebagai kelemahan terbesar dari bahasa Bugis tradisonal. Namun di sisi lain juga memiliki kelebihan tersendiri. Oleh sebab itu, sampai saat ini masih tetap saja ada segolongan masyarakat terutama golongan lama yang masih juga mempertahankan tulisan tradisional semacam ini.
Namun yang patut disayangkan adalah banyak remaja Bugis yang kurang berminat untuk belajar bahasa warisan nenek moyangnya ini. Justru mereka lebih semangat pada saat belajar bahasa negara lain, semisal bahasa Inggris.
Modernisasi Bahasa Bugis
Dewasa ini, arus globalisasi memiliki pengaruh yang cukup besar. Dunia modern yang setiap detik selalu memberikan efek serta pengaruh terhadap kehidupan masa kini, terlebih lagi bagi para remaja. Globalisasi ini sejatinya sudah berhasil mengubah pola hidup para remaja sekarang, mulai dari mode hidup, pakaian, minat, bahasa, dan lain sebagainya.
Berbicara terkait dengan bahasa, fakta yang ada saat ini kebanyakan dari para kaum milenial lebih banyak yang fasih melafalkan bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya masing-masing.
Contoh sederhananya apa yang saat ini dialami oleh bahasa Bugis. Remaja Bugis saat ini bisa dikatakan lebih mengusai bahasa asing semisal Inggris, Mandarin, Korea, ketimbang bahasa Bugis itu sendiri.
Banyak para remaja yang beranggapan jika interaksi sehari-hari dalam bahasa Bugis itu sama dengan Kamseupay, atau yang lebih dikenal dengan “kurang gaul”, kampungan, ketinggalan zaman, dan tidak modern.
Padahal semestinya budaya daerah sendiri sangatlah perlu untuk ditingkatkan dan terus dilestarikan supaya ciri khas dan karakter dari daerah tersebut tetap dominan. Bukan justru lebih mengembangkan budaya asing di tanah kelahirannya sendiri.
Perkembangan Bahasa Bugis
Dalam perkembangannya, saat ini bisa dikatakan sudah terjadi ketidakseimbangan antara bahasa Bugis dan bahasa asing yang kini mulai merambat dalam wilayah Bugis. Bagaimana tidak? Bisa dikatakan hampir 80% setiap harinya para remaja Bugis memilih berinteraksi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan tidak sedikit juga yang menggunakan bahasa Inggris.
Memang kondisi seperti ini sebenarnya tidak bisa disalahkan. Apalagi bahasa Indonesia ini memiliki peran yang cukup besar dalam hal pergaulan yang lebih luas seperti pergaulan lingkup Indonesia. Selain itu, bahasa Inggris juga merupakan bahasa Internasional yang digunakan untuk komunikasi lingkup Internasional.
Tapi tidak berarti juga bahasa Bugis yang merupakan bahasa tradisional warisan budaya suku Bugis ini harus tenggelam begitu saja hanya dikarenakan bahasa asing yang merambat di wilayah Bugis.
Fakta lain yang memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara perkembangan bahasa Bugis dan bahasa asing adalah cukup banyak remaja Bugis yang tidak tahu arti dari bahasa derahnya tersebut.
Fakta selanjutnya yang memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara bahasa Bugis dengan bahasa asing dan bisa dikatakan fakta yang cukup miris adalah adanya rasa gengsi dan malu para remaja Bugis untuk menggunakan bahasa daerahnya dalam berkomuniasi.
Kerap kali ada anak-anak yang berkomuniaski dengan menggunakan bahasa Bugis ini justru malah ditertawakan dan langsung di-judge anak tersebut pastilah berasal dari derah pedalaman, buktinya bahasa yang digunakan belum modern.
Hal seperti inilah yang nantinya bisa melekat dalam diri setiap individu dan akan terus berkembang sampai dirinya menuju masa remaja dan memilih berkomunikasi dengan bahasa yang dianggapnya lebih modern (bahasa Indonesia atau bahasa Inggris).
Dan dengan demikian, lagi-lagi seorang anak-anak yang awalnya mulai ada keinginan untuk menggunakan bahasa daerahnya saat berkomuniaski, kini mulai hilang lagi lantaran adanya rasa gengsi tersebut.
Sesuai dengan kata pepatah “Jika ada asap pasti ada api”. Demikian juga dengan hal di atas tadi. Tidak mungkin bahasa Bugis yang kurang diminati oleh para kamu milenial terjadi tanpa adanya sebab.
Dan, faktor terbesar yang menyebabkan hal seperti itu bisa terjadi karena ada pengaruh yang cukup signifikan dari modernisasi, yang semakin hari semakin menuntut untuk menggunakan bahasa Internasional saat berkomunikasi.
Memang benar, modernisasi menuntut untuk mengarah ke hal yang berbau Internasional serta sesuai dengan perkembangan teknologi dan komunikasi, Tapi kenapa juga harus mengesampingkan bahasa Bugis yang sudah menjadi kebudayaan turun-temurun dari nenek moyang Anda sendiri.